Tuesday, November 14, 2006

Komunikasi Non Legacy

Hari ini lumayan irit, makan siang gratis karena di kantor ada Halal Bihalal. Perhelatan ini diselenggarakan secara gotong-royong oleh ketiga bagian pra-penjualan dari divisi Enterprise, yaitu sales service, sales produk dan marketing. Kebetulan ketiga bagian pra-penjualan ini berada satu lantai.

Bagian sales service yang mayoritas wanita menyediakan aneka masakan dan minuman yang bikin saya sendiri kagum atas kepiawaiannya dalam masak-memasak. Sedangkan bagian sales produk, mungkin karena terbiasa mentraktir customer, mereka memilih patungan (urunan) buat beli hidangan suplemen yang memang terbukti enak betul. Bagian marketing yang didominasi mantan teknisi berpartisipasi dalam beberapa seksi seperti seksi dekorasi, dokumentasi, publikasi & komunikasi. Saya kebagian seksi asistensi (bantu-bantu) icip-icip he he.... Acara makan siang dimulai setelah doa yang dipimpin oleh seorang rekan yang kami panggil Pak Haji.

Sembari makan ketupat sayur ada seorang rekan mencoba membuka obrolan dengan mempertanyakan istilah halal bihalal dan acara maaf-maafan ini. Saya sempet terkesima beberapa saat mendengarnya. Kok ya... ada saja orang yang sebegitu kritisnya sampai-sampai hal-hal beginian dipikirin?! Olala!.. Dunia ternyata amatlah kompleks, terlalu banyak hal yang tak pernah saya sangka. Menurut saya, istilah halal bihalal tidak harus berhubungan dengan bahasa tertentu. Begitu halnya saling minta maaf dan memaafkan bukanlah hak eksklusif agama atau suku tertentu. Mau disebut apa kek undangan acara maaf-maafan di bulan sawal seperti ini, apakah sawalan, halal bihal, silaturahmi, open house, dll adalah undangan yang jelas dan transparan tanpa perlu buka-buka kamus segala. Orang-orang yang diundang mengerti betul maksud dan tujuan undangan. Beda dengan penipuan-penipuan terselubung dengan undangan samar-samar setengah maksa, seperti misalnya ada proyek-lah, prospek-lah, kerjasama-lah... tanpa pernah mau menyebutkan informasi secara transparan sebagai dasar pertimbangan perlu-tidaknya menghadiri undangan tersebut. Sayang sekali tak ada satu pun rekan yang membantah ataupun menanggapi pendapat saya ini. Mungkin mereka pada males mikir karena sedang menikmati kelezatan makan siang.

Rekan yang sama kemudian bercerita tentang forward-an imil baru-baru ini yang katanya dari temannya menyoal istilah Minal Aidin Wal Faidin. Memang, kira-kira setahun lalu ada penulis lepas koran (kalo tidak salah koran PR Bandung) mencoba kotak-katik istilah ini namun pembahasan hanya berkisar seputar ilmu bahasa sesuai bidangnya. Sayang sekali pembahasan tersebut tidak menyebutkan secara jelas asal usul istilah ini agar bisa dilacak validitas maksud dan tujuan pencipta istilah tersebut. Kalo disimak cerita rekan tersebut, rupa-rupanya saat ini ada pihak-pihak yang memanfaatkan pembahasan dari segi ilmu bahasa ini untuk mencoba mempengaruhi opini orang banyak via imil. Inilah efek kemudahan komunikasi, berkomunikasi jauh lebih mudah dan murah namun jauh lebih sulit memfilternya. Untuk mengetahui imil spam, virus atau normal saja sudah sulit apalagi mengetahui maksud dan tujuan penulis imil.

Secara terus terang saya mengakui tidak mengetahui asal usul istilah ini selain kalimat ini sudah amat populer sejak saya belum lahir, paling tidak setiap tahun dinyanyikan di syair lagu "Selamat Hari Lebaran" karya Ismail Marzuki.

Minal Aidin Wal Faizin, Mohon maaf lahir dan Batin
Selamat para pemimpin, Rakyatnya makmur terjamin
Namun saya yakin sewaktu kebanyakan rekan-rekan kantor bersalaman sambil secara singkat, simple dan praktis mengucapkan istilah ini maksudnya tak lain tak bukan adalah Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Baik Minal Aizin, Halal Bihalal, Sawalan, dsb bagi saya adalah sekedar ungkapan untuk memudahkan komunikasi dalam mengutarakan maksud kita tanpa harus terikat pakem atau protokol tertentu. Sama halnya dengan istilah "Aneh bin Ajaib" tidak harus berarti orang bernama Aneh anaknya Pak Ajaib meskipun menurut bahasa Arabnya mungkin saja artinya begitu. Tidak perlu repot-repot dipersoalkan yang lebih penting adalah bagaimana orang yang diajak komunikasi mengerti maksud kita. Begitu juga dengan istilah-istilah dongeng seperti abrakadabra, simsalabim dsb yang penting anak-anak yang membacanya mengerti isi dongeng. Bagi orang kebanyakan sering terungkap secara spontan ungkapan-ungkapan non protokoler untuk menyapa temannya yang sudah lama tidak bertemu seperti Jiancuk, Pukimak, Biangane, Semprul dll yang mana orang yang diajak komunikasi pun maklum bahwa itu adalah ungkapan kegembiraan karena berjumpa lagi tanpa pernah memikirkan apa arti legacy-nya.

Saat ini untuk membeli barang tidak harus repot-repot pergi ke toko, membawa uang tunai atau tanda-tangan kartu kredit seperti tempoe doeloe. Tinggal klak-klik di browser, pihak penjual sudah percaya kesahihan pembayaran tanpa pernah bertemu pembelinya. Barangkali masih banyak perusahaan di Indonesia yang belum mampu menerima kemudahan cara-cara berkomunikasi non legacy seperti ini, misalnya karena protokoler perusahaan mewajibkan bukti komunikasi tertulis dengan fax atau surat dilengkapi kop perusahaan, stempel, tanda-tangan atau cap jempol, materai, dsb. Beda dengan perusahaan, sebagai personal tentunya kita bisa jauh lebih fleksibel untuk tidak terkungkung oleh protokol-protokol tertentu dalam berkomunikasi apalagi mempersulit diri dengan legacy-legacy berkomunikasi.

Bagaimanapun juga saya berterimakasih kepada rekan ngobrol yang telah mau sharing pengetahuan tersebut. Paling tidak hari ini saya memperoleh pelajaran berharga dan menambah wawasan baru bahwa ternyata di jaman komunikasi 3G gini masih ada saja yang sibuk mikirin njlimetnya legacy-legacy dalam berkomunikasi.
Makanya... ngobrol.

0 comments:

Post a Comment