Monday, June 08, 2009

Stop Perang Neo, Wujudkan Neo Indonesia

Rupanya lakon film trilogi Matrix bernama Neo yang jagoan ngeles peluru (bullet dodging) kembali naik daun populeritasnya. Banyak orang merasa jago ngeles secara Neo getto loh.

Pertama Neo Liberalisme atau akhir-akhir ini sering disingkat sebagai Neolib tiba-tiba merupakan istilah yang amat populer di masyarakat. Isyu ini mulai mencuat ke berbagai media massa paska penunjukan secara resmi Budiono sebagai Cawapres SBY. Ada yang bilang isyu ini sengaja dibesar-besarkan oleh pihak-pihak yang berseteru karena kepepet tak punya modal lain selain modal nekat kebelet menjatuhkan citra figur seorang Budiono yang notabene satu-satunya wajah baru di Pilpres 2009 ini. Namun ada juga yang bilang betapa bahayanya Neolib ini bagi kesejahteraan rakyat dan menuduh Budiono sebagai antek Neolib.

Seiring dengan populeritas istilah Neolib, muncul istilah baru lain yaitu Neo Feodal. Bila istilah liberal mengacu kepada kesamaan dan kebebasan hak siapapun untuk berpolitik, berdagang, dll, maka istilah feodal lebih mengacu kepada faktor bibit unggul. Keturunan pedagang pantasnya mah berdagang sajalaaah... Sedangkan pucuk pimpinan negeri pantasnya dijabat oleh keturunan tokoh-tokoh nomer satu negeri yang sedikit banyak telah berjasa bagi nusa bangsa. Sejarah dan legenda Indonesia pada umumnya istana-sentris sehingga nyaris tak pernah menceritakan kisah seorang rakyat jelata yang mampu membuat negara mendulang kejayaan di masanya. Namun banyak juga kisah keturunan raja-raja yang tak mampu mempertahankan status quo dinastinya atau malah membuat negara hancur berantakan. Artinya ada yang pro dan ada juga yang kontra soal pentingnya faktor keturunan bibit unggul bagi pasangan Capres/Cawapres ini.

Selain istilah Neolib dan Neo Feodal, ada lagi Neo ORBA. Istilah ini jauh lebih mudah difahami oleh masyarakat awam ditujukan kepada pasangan Capres/Cawapres dari partai mana yang selama era yang disebut sebagai era Orde Baru selalu mendominasi suara PEMILU. Saat ini istilah ORBA sudah berkonotasi buruk terutama bagi sebagian masyarakat di Jakarta dan kota-kota besar lain paska demo mahasiswa besar-besaran melawan rezim status quo dengan cara menuntut Soeharto mundur dari jabatan Presiden RI.

Intinya, baik istilah Neolib, Neo Feodal, dan Neo ORBA dimaksudkan sebagai ungkapan untuk menggambarkan kepada masyarakat akan ancaman keburukan dan keterpurukan bakal menimpa rakyat apabila pihak yang dituduh sebagai antek Neo-Neo tersebut berkuasa.

Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tentunya untuk menunjukkan kepada masyarakat bagaimana kepedulian mereka terhadap kesejahteraan rakyat. Masing-masing pihak sebenarnya sudah memiliki konsep yang diyakininya bisa mensejahterakan rakyat. Hanya saja ada yang merasa paranoid dengan konsep-konsep yang diyakini oleh pihak lain. Akibatnya bukan saling bergotong royong untuk sharing konsep namun malah saling menjatuhkan pihak lain, apapun konsep dan keyakinannya.

Di sebagian besar negara-negara Asia, termasuk Indonesia, figur pimpinan dan aparat pelaksananya jauh lebih dominan daripada konsep atau sistem yang diusung oleh pemerintahannya. Terlepas konsep atau sistem yang dianut apakah pro agamis, atheis, kapitalis, komunis, liberalis, sosialis, dll ada yang maju dan ada pula masa-masa terpuruknya.

Klaim pro ekonomi kerakyatan belum tentu menjalankan ekonomi kerakyatan secara murni dan konsekuen. Namanya juga sebatas Pro. Kalopun menjalankan sistem ekonomi kerakyatan (sosialis) belum tentu pejabatnya merakyat.

Buat apa pejabat dengan gaya hidup merakyat kalo tidak pernah bermanfaat bagi rakyat?! Boleh jadi pejabat yang merasa telah merakyat tapi hanya pro partai atau golongannya daripada Pro Rakyat. Bahkan bisa jadi para pejabat yang dipandang bergaya hidup borjuis hedonis malah lebih terasa manfaatnya bagi rakyat kebanyakan. Gaya hidup adalah hak pilihan setiap individu, sedangkan manfaat nyata bagi rakyat bisa dirasakan oleh rakyat itu sendri. Penampilan bisa saja membohongi, namun soal rasa... mana bisa bohong?!

Mayoritas rakyat yang bisa merasakan apakah segenap jajaran aparat pelaksana pemerintahan (dari presiden di istana sampai pejabat tingkat kecamatan ataupun kelurahan) lebih pro rakyat ketimbang pro konsep, sistem atau standard yang dianut oleh pemerintahan tersebut?!

Disinilah pentingnya profil moral dan mental kepribadian presiden dan wakil presiden sebagai figur pimpinan tertinggi di pemerintahan. Apabila figur pimpinan tidak pro rakyat, maka di Indonesia berlaku kurleb:
"Eh, ngapain repot-repot pro rakyat?? Bos-bos qt aj pada nggak pro rakyat kok. Enggak banget d...."

Andaikatapun pimpinan dan elit pejabat memiliki figur berprofil pro rakyat pun belum tentu otomatis menular sampai ke aparat pelaksana di paling bawah yang langsung berhubungan dengan masyarakat.

Dengan demikian profil figur pro rakyat saja belum mencukupi bagi seorang presiden RI, namun juga harus memiliki kemampuan membuat segenap aparaturnya memiliki moral dan mental pro rakyat juga.

Soal apakah moral dan mental pro rakyat telah sampai ke aparat pelaksana paling bawah yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat luas tentunya masing-masing individu bisa merasakannya sesuai dengan situasi, kondisi, lokasi, dll.

Contoh bagi masyarakat di Jakarta, apabila sedang berkendaraan tiba-tiba disemprit Pak Polisi di jalanan apakah kita akan merasa bersyukur telah diselamatkan dari mara bahaya kecelakaan akibat pelanggaran peraturan lalu-lintas ...... ataukah kita akan merasa ketakutan karena akan berdosa turut menghalalkan dana haram bagi kebutuhan keluarga polisi tersebut? Apakah presiden RI yang terpilih nanti bisa membuktikan polisi ataupun jajaran aparat sampai paling bawah memiliki jiwa melayani yang lebih pro rakyat dibandingkan pro nafsu egonya sendiri?

Bagi banyak orang contoh ini hanyalah satu contoh kasus yang teramat kecil bila dibandingkan dengan berbagai permasalahan negeri ini. Kembali kepada individu masing-masing, layanan masyarakat mana yang paling bisa dirasakan dari para aparat pelaksana dari sistem pemerintahan. Apabila moral dan mental aparat pelaksana selama ini dinilai minus maka tentunya mengharapkan perubahan ke Indonesia yang sama sekali baru dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Bukannya malah para tokoh-tokohnya pada kisruh tawuran sendiri saling menjatuhkan dan meneladani main ledek-ledekan secara perang Neo-Neo di berbagai media massa yang semakin membingungkan masyarakat awam saja.

Ada wacana yang menyebutkan bahwa kekisruhan perang Neo-Neo tersebut menjelang Pilpres ini ujung-ujungnya gara-gara ambisi 3 jenderal yang disebut sebagai Jenderal SUWOTO (SUsilo, praboWO, wiranTO) dalam adu strategi memenangkan game Pilpres 2009 ini. Omaigaaat... mosok sih negara jadi ajang permainan dengan rakyat sebagai taruhannya?! Dooh.... ?!@&#*

Sudah sejak jaman pra jahiliyah yang namanya pertikaian gara-gara ambisi elit politik terbukti hanya menyengsarakan rakyat kebanyakan disamping dendam kesumat antar trah ningrat turun temurun.

Andaikata ketiga Jendral SUWOTO tersebut mau bersatu padu dan sharing strategi untuk satu Neo yaitu Neo Indonesia, tentunya akan amat membantu bangsa dan rakyat indonesia mewujudkan the real Neo Indonesia.

Dengan demikian tidak perlu lagi saling fanatik masing-masing strategi dengan menjatuhkan pihak lain namun justru mengsinergikan strategi, misalnya dengan slogan:
LANJUTKAN MAKIN PRO RAKYAT, LEBIH CEPAT LEBIH BAIK

Sebagai manusia biasa aja yang sudah teramat 'nnegh dengan pertikaian-pertikaian para CaPres (Calo-calo Pilpres) menjelang Pilpres ini, kita hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mencukupkan 1 putaran saja pilpres 2009 secara sukses dan damai. Kita harus mau mengakui bahwa ketiga pasangan adalah jagoan-jagoan terbaik negeri saat ini, karena itulah mereka yang maju. So siapapun yang nantinya menang wajib kita dukung sepenuhnya untuk membutikan bahwa bersama-sama kita bisa mewujudkan Neo Indonesia yang berpihak ke masa depan anak bangsa Republik Indonesia.

Anak Bangsa RI