Monday, November 06, 2006

Kembali ke Habitat

Masa paska mudik seperti ini mengingatkan saya pada masa paska mudik semasa mahasiswa di Bandung.

Di kontrakan kami terdapat seekor kucing yang menurut hasil jajak pendapat seluruh warga tidak layak huni. Jangankan ikut iuran bayar kontrakan tiap tahunnya, iuran bulanan pun tak pernah bayar tapi sering bikin repot dan susah warga. Sedangkan untuk membunuhnya, tidak ada satu pun warga yang berani. Akhirnya kami memutuskan untuk membuangnya saja.

Secara bergiliran kami jalankan usaha-usaha intensif dengan mempertimbangkan berbagai macam saran tentang metodologi pembuangan kucing. Mana yang katanya matanya harus ditutup waktu dijalan, harus dimasukkan karung, harus dibuang di tengah pasar, harus melewati sungai dsb tapi hasilnya kucing tersebut selalu kembali ke rumah kontrakan kami.

Untuk mencegah masalah berlarut-larut, Sudut Pasar Baru Bandung maka jauh hari sebelum memasuki bulan puasa kami pun meeting tentang kucing. Hasil meeting adalah menjalankan semua saran yang diatas, hanya saja lokasi pembuangannya di Pasar Baru Bandung yang jaraknya kami perkirakan diluar jangkauan kucing untuk jalan kaki kembali disamping melalui beberapa pasar dan sungai sekaligus. Selain itu, menurut pendapat kami sebagai pasar yang besar dan ramai merupakan habitat yang ideal bagi kucing karena disana akan banyak makanan kesukaaannya dan teman-temannya sehingga si kucing tak akan pernah tertarik untuk kembali kesini lagi.

Hari-hari tanpa kucing pun berlalu dan diantara kami sudah tidak ada yang ingat sama sekali. Pada hari Minggu pagi setelah semua warga kembali dari mudik lebaran, tiba-tiba terdengar teriakan histeris Bibi - begitu kami biasa memanggil seorang Ibu yang biasa memasakkan buat kami, dari arah dapur: "Den!... Den!...". Kontan saja kami berhamburan ke arah dapur. Sesampai di dapur, Bibi hanya menunjuk-nunjuk ke arah pintu masuk dapur tanpa berkata-kata. Persis ditengah-tengah pintu yang ditunjuk, dibawah sinar matahari si kucing tiduran dengan amat santainya sambil buntutnya goyang-goyang dikit, dan matanya melihat kami dengan cueknya seolah mengejek habis. Saking kagetnya, kami semua terbengong-bengong bak melihat keajaiban dunia. Sampai akhirnya seorang diantara kami secara spontan setengah berteriak bilang: "Edan!". Barulah kami tersadar dan terbahak-bahak mentertawakan diri sendiri karena merasa begitu dilecehkannya oleh seekor kucing. Seorang teman berceloteh: "Gimana jadinya republik ini kalo segini banyak calon insinyurnya kalah telak oleh seekor kucing yang tak pernah sekolah?!"

Kami akhirnya menyadari keterbatasan pengetahuan kami tentang kucing. Namun sejak itu kami menghentikan usaha-usaha intensif pembuangan kucing. Bukannya putus asa tapi dikarenakan kami berpendapat si kucing sendirilah yang paling berhak menentukan habitatnya yang tak lain adalah tempat dimana ia mencari makan yang paling cocok buat dirinya.

Ada sebagian orang yang berpandangan hujan emas di tanah orang, hujan batu di tanah sendiri, masih memilih tanah sendiri. Namun bagi sebagian orang yang lain, habitat bukanlah masalah memilih emas atau batu, melainkan tempat mencari makan. Kalo mencari makan saja susah, bagaimana kita mau memilih apakah mau koleksi emas atau batu-batuan? Apalagi bagi seekor kucing yang taunya makan, cepat atau lambat dia akan kembali ke habitatnya.

Hari ini pembantu rumah tangga kami kembali dari mudik. Begitu juga temen-teman kantor dari berbagai bagian, setidaknya semua temen-temen ngobrol sehari-hari, sudah mulai masuk kantor per hari ini.

0 comments:

Post a Comment