Saturday, April 17, 2010

Kelanjutan Sejarah Trah Mbah Priok

Rabu pagi 14 April 2009 begitu sampai di kantor, kata-kataa yang tiba-tiba banyak terdengar adalah... rusuh.... ricuh.... brutal... anarkis.... chaos...

Ternyata teman-teman yang mengatakannya itu berasal dari kawasan Tanjung Priok atau jalan dari rumah menuju kantornya melewati kawasan Terminal Container Koja atau sering disebut sebagai TPK (Terminal Peti Kemas) Koja.

Menurut mereka sedang ada kerusuhan dengan kekerasan antara massa vs. petugas Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) DKI di kawasan tersebut. Ada beberapa teman yang bilang gara-garanya rebutan makam Mbah Priok cikal bakal pelabuhan Tanjung Priok. Walarakadaaah...... Jujur saja saya kaget karena seumur-umur saya baru dengar asal usul nama Tanjung Priok ada kaitannya dengan nama seseorang tokoh bernama Mbah Priok.

Setelah pagi itu saya sering dengar info-info seputaran kericuhan Tanjung Priok. Mungkin ada diantaranya yang memperoleh berita-berita dari internet atau radio. Hanya saja hari itu saya tak sempat buka internet ataupun dengar radio. Jadinya ya percaya aja ma omongan teman-teman. Siangnya saya dengar 2 orang tewas. Saya minta seorang teman untuk cek n recek telpon langsung ke lapangan. Ternyata sumber teman tersebut membenarkannya dan korban yang tewas keduanya dari pihak Satpol PP DKI. Wah.... meskipun saya tak melihatnya langsung namun saya bisa merasakan bahwa situasi dan kondisi di kawasan itu sudah betul-betul gawat darurat persis seperti refleksi kata-kata yang banyak saya dengar tadi pagi.

Di lain pihak, sorenya saya dengar berita duka cita, H. Djohari Bowo, ayahanda dari Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo meninggal dunia pada hari Rabu 14/4 itu di RS Cipto Mangunkusumo pada jam 13:45 WIB setelah kondisinya gawat sejak pagi hari.

Malamnya saya menyempatkan buka facebook melalui HP. Sekilas membaca beberapa status-status friends. Saya merasa kaget campur prihatin. Bisa dikatakan nyaris semua status dan komen-komennya terkesan menyalahkan aparat Satpol PP DKI dan Polisi Polda Metro Jaya. Bukan soal mereka benar atau salah, namun saya prihatin darimana mereka bisa menyimpulkan sebegitu cepatnya? Mana mungkin teman-teman yang notabene melek internet itu main hakim sendiri? Namun saya tetap berusaha untuk menjaga open mind, dengan beralasan bahwa mereka memang sudah jauh apdet info sehingga jauh lebih mengetahui situasi dan kondisi daripada saya yang belum sempat baca atau dengar berita-berita di media massa. Saya masih merasa terhibur karena setelah saya amati cermat-cermat, ternyata status-status dan komen-komen yang menyalahkan Satpol PP tersebut tidak ada yang berasal dari teman-teman yang pernah sesekolahan, sekuliahan, sekantoran ataupun saudara dekat maupun jauh. Huufff....

Esoknya, 15/4, saya tak sabar menanti koran datang. Sudah beberapa tahun belakangan ini saya hanya berlangganan 2 koran dalam kategori berita umum, yaitu Kompas dan The Jakarta Post. Saya baru tahu yang dimaksudkan orang-orang sebagai Mbah Priok adalah Arif Billah Hasan bin Muhammad Al Haddad a.k.a Habib Al Haddad.

Namun sampai habis saya baca seputar kerusuhan Tanjung Priok di 2 koran tersebut, saya belum mampu juga menyimpulkan pihak mana atau siapa yang bersalah selain kerugian yang diperkirakan bisa mencapai ratusan milyar rupiah. Andaikatapun saya dipaksa menyimpulkan maka saya khawatir yang ada adalah Premature Conclution. Saya pun lantas bertanya-tanya bagaimana bisa friends di FB membuat status-status dan komen-komen seperti yang saya baca tadi malam? Wuiih... Hebat bener mereka yaa... Saat itu kesimpulan sementara saya baru sampai:

Terjerat predikat yang terlanjur melekat erat... Habib ga mungkin salah, aparat pasti keparat, warga pokoknya wajib dibela....

Sampai hari Kamis malam pun saya belum bisa menarik kesimpulan akhir lebih dari itu, apalagi nulis di blog ini. Setau saya masih banyak masyarakat Indonesia yang meskipun melek internet namun mindsetnya belum terbuka terhadap segala macam perbedaan. Ada saja dolah-dalihnya untuk menolak faham yang tidak sefaham dengan fahamnya sendiri. Misalnya dengan memberikan link, spontan ditolak dengan dalih namanya juga halaman atau situs internet bisa dibikin siapa saja. Jika ditunjukkan buku atau artikel tertulis di koran-koran, spontan ditolak juga dengan dalih buku dan artikel tersebut bisa saja disponsori oleh pihak-pihak yang punya kepentingan terselubung. Wesszzz.... Sulit untuk meyakinkan sebagian orang-orang meskipun berdasar sumber-sumber yang diakui oleh banyak orang.

Barulah di Jumat pagi kemarin, 16 April, di acara tv Metro Pagi Weekend jam 6an ada acara tanya jawab dengan 2 pakar, yaitu Alwi Shahab sebagai ahli Sejarah Betawi dan Ridwan Saidi sebagai Budayawan Senior Betawi dan penulis buku Babad Tanah Betawi. Pada intinya, menurut kedua kedua narasumber tersebut, Mbah Priok itu tak lain tak bukan adalah Mbah Hoax doang. Dengan demikian kisah-kisah tentang Mbah Priok yang berkembang di sebagian masyarakat tersebut bukanlah masuk kategori sejarah melainkan dongeng belaka yang tak bisa diperdebatkan.

Seperti dongeng Habib Al Haddad yang saat kapalnya karam diselamatkan oleh sebuah periuk, sehingga setahun setelah beliau selamat itu beliau meninggal dunia dan periuk itu ditanam di samping makamnya. Tak lama setelah wafatnya belau itu tumbuh pohon sebagai cikal bakal penamaan Tanjung Priuk.Sedangkan menurut sejarah, sejak awal-awal para wali dan para pelaut Cina berlabuh di pelabuhan situ masih amat primitif. Mereka baru mengenal sampan layar kecil dan belum mengenal kapal layar besar yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa asing dari kawasan Cina dan Arab, sehingga kaum pribumi menyebutnya sebagai Sampan Periok atau Sampan besar yang seperti periuk. Karena banyak kapal berlabuh di pantai situ maka disebutnya pantai tersebut sebagai Tunjung Periok yang artinya daerah tempat sampan periok atau sampan besar berlabuh. Kebetulan pada abad-abad selanjutnya trefik perdagangan meningkat, masyarakat pribumi banyak yang berprofesi sebagai pengrajin Periuk menimbun barang dagangan mereka di atas rakit-rakit bambu di pantai. Maka makin terkenallah kawasan tersebut bernama Tanjung Priok.

Menurut dongeng Habib Al Haddad yang konon cicit Sultan Hamid dari Palembang lahir pada 1727 dan wafat pada 1756. Sedangkan menurut kajian sejarah Alwi Sultan Hamid yang dimaksud sudah terbukti dalam sejarah wafat pada 1820 dalam usia 70 tahun, yang berarti lahir 1750. Mana ada para pakar sejarah di manapun yang sudi mengakui bahwa cicit lahir duluan daripada kakek buyutnya ?!

Menurut dongeng Habib Al Haddad adalah salah satu penyiar agama Islam di Jawa. Sedangkan menurut kajian sejarah, setelah beliau selamat dari karamnya kapal berkat periuk yang menopangnya sampai pantai, beliau tidak pernah pergi kemana-mana selain hanya kotbah di kawasan tersebut sampai meninggalnya setahun kemudian. Memang saat terdampar di pantai, beliau pernah mengaku sebagai cicit Sultan Hamid dari Palembang yang mengutusnya untuk menjalankan syiar agama Islam di Jawa karena mendengar kisah-kisah para sunan wali termasuk kisah Falatehan atau Fatahillah yang kemudian bergelar Sunan Gunungjati itu.

Menurut dongeng tanah makam tersebut adalah milik Habib Al Haddad. Sedangkan menurut kajian sejarah jauh sebelum Habib Al Haddad meninggal dunia, tanah tersebut sudah menjadi makam para habib. Habib pertama yang dimakamkan disitu adalah Habib Abdullah bin Alatas dari daerah Kebun Jeruk yang wafat pada tahun 1760. Sedangkan Habib Al Haddad tercatat sebagai habib ke-11 yang dimakamkan di tanah makam situ. Yang paling populer dari ke-11 habib tersebut adalah Habib Luar Batang yang hidup bersamaan dengan Habib Al Haddad. Keturunan 10 habib sudah pernah menyerahkan tanah makam tersebut baik ke pemerintah Belanda maupun ke pemerintah RI karena makam tersebut sudah bercampur dengan pemakaman masyarakat umum. Namun pernah ada orang-orang yang mengaku sebagai keturunan Habib Al Haddad mengajukan surat sebagai ahli waris.

Menurut dongeng Habib Al Haddad alias Mbah Priok memiliki keturunan. Sedangkan menurut catatan sejarah Habib Al Haddad dari sejak terdampar sampai wafatnya tidak pernah menikah, apalagi sampai punya keturunan. Sehingga dipertanyakan siapa sebenarnya orang-orang yang pernah mengajukan surat sebagai ahli waris tersebut?

Menurut fakta TPU (Tempat Pemakaman Umum) Semper, Budi Dharma, Cilincing, Jakarta Utara sudah terdapat 11 makam habib yang dipindahkan dari tanah makam Jalan Dobo di Koja yang berdasarkan keputusan pengadilan adalah milik syah PT. Pelindo II atau JITC (Jakarta International Terminal Container). Sehingga dipertanyakan apabila diayakini bahwa jasad Mbah Priok masih di Koja, lantas jasad siapa yang tercatat sebagai 11 habib bersama seratusan lebih jenazah yang telah dipindahkan ke TPU Semper pada tahun 1997 ?

Jumat sorenya, awan tebal hitam kelabu menampakkan formasi bagaikan sepasang bola mata di jembatan layang Grogol, di depan mol Ciputra, jalan S. Parman.
Awan mata jembatan layang GrogolSampai Saptu pagi ini saat blog ini saya ketik, saya belum berhasil menemukan kajian-kajian pembanding dari para pakar lain yang membantah kajian kedua narasumber tersebut dan semua yang disebut dongeng tersebut adalah sejarah sejati serta semua yang disebutkan sebagai fakta sejarah tersebut sejatinya adalah dongeng belaka.

Yang amat memprihatinkan masih begitu banyak masyarakat yang masih lebih meyakini kebenaran dolah dalih berdasarkan dongeng-dongeng tanpa pernah mau tahu atau mencari tahu terlebih dahulu kebenaran sejarahnya dari sumber-sumber yang banyak diakui orang sebagai ahlinya sejarah. Saking tinggi keyakinannya mereka rela berbuat apa saja untuk membela dolah-dalih tersebut. Bahkan keyakinannya tersebut ada yang mengaitkannya dengan agama Islam. Padahal mayoritas warga muslim di DKI Jakarta pada umumnya sudah maklum untuk tidak mengeramatkan kuburan sehingga saat ini warga DKI sudah banyak yang maklum atas larangan Pemda DKI untuk membuat nisan atau apapun bangunan permanen di makam keluarganya di kebanyakan TPU muslim di Jakarta. Banyak muslim di DKI yang meyakini, andaikatapun haram tidaknya ziarah kubur masih mengandung pro-kontra, namun yang jelas tak ada satupun ayat KS Al Quran yang memerintahkan, menganjurkan ataupun meneladankan nabi-nabi untuk memelihara, meramaikan atau memuliakan kuburan.

Terlepas omongan siapa yang wajib diyakini sebagai dongeng atau sejarah, yang jelas kasus Tanjung Priok ini telah menoreh sejarah bangsa yang amat memprihatinkan. Terbukti sampai saat ini masih banyak saudara-saudara kita yang primitif yaitu menganut asas main hakim sendiri, menyimpulkan benar-salah tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku. Bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari saudara-saudara kita yang butuh pencerahan agar lebih baradab dan lebih sadar hukum sebagai makhluk sosial dalam negara hukum. Maka seharusnya kasus Tanjung Priok ini tidak berhenti sampai disini, namun masih ada kelanjutannya agar semua keraguan dan persoalan yang ada tuntas tanpa bias.

Sebagai pencerahan masyarakat luas sekaligus sebagai pendidikan anak bangsa bahwa main hakim sendiri bisa berakibat fatal, tidak hanya bagi dirinya sendiri namun berdampak luas. Dengan adanya proses hukum tanpa diskriminasi diharapkan bisa ditepis ataupun dibuktikan adanya dugaan exploitasi oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kebodohan masyarakat atau ketidakpahaman masyarakat terhadap sejarah karena kurangnya pemerataan pendidikan, dsb.

Sebagai warga negara hukum kita pun tak pantas ikut-ikutan main hakim sendiri men-judge siapa-siapa saja yang bersalah. Oleh karena itu kita percayakan kepada para penegak hukum dan keadilan yang akan melanjutkan kasus Tanjung Priok ini sampai tuntas setuntasnya dan menghukum semua yang bersalah sesuai hukum yang berlaku. Siapa tahu di pengadilan nanti terkuak bukti-bukti otentik yang bisa merunut sejarah trah Mbah Priok yang sampai kini pun masih diyakini dan dibela-belain segitunya amat oleh banyak orang tersebut.

Seberapa lama atau cepatnya penyelidikan kasus ini sampai dinyatakan P-21 (tersangka dan semua barang bukti komplit untuk penuntutan), tergantung dari kemampuan jajaran POLRI untuk mengusut akar permasalahan penyebab terjadinya kerusuhan agar sejarah seperti ini tak pernah terulang kembali.

Di negara hukum tak begitu soal pihak mana yang kuat atau lemah, pihak mana yang lebih banyak atau lebih sedikit, pihak mana yang garis keras atau garis lembut, ataupun pihak mana yang akan menang atau kalah di pengadilan nantinya. Semua orang dan semua pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk tunduk dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Bagaimanapun, kemampuan para penegak hukum dan keadilan dalam mencari kebenaran dan keadilan sesuai hukum yang berlaku adalah bagian sejarah Indonesia juga.

0 comments:

Post a Comment