Wednesday, June 09, 2010

Mendobrak Kepicikan Diri

Seperti Katak Dalam TempurungMao Tse-Tung alias Mao Zedong [1893-1976] seorang figur terkemuka di China tercatat dalam sejarah pernah mengatakan:
Kita sering berpikir terlalu picik seperti katak di dasar sumur yang meyakini langit hanyalah seluas lubang sumur diatasnya. Padahal andai saja dia berada di permukaan maka dia akan melihat pemandangan yang jauh berbeda dengan keyakinannya selama ini.

Orang China menyebutnya dengan pepatah "Seperti katak didalam perigi atau sumur". Kita pun mengenal peribahasa "Seperti katak dibawah tempurung". Peribahasa ini tak hanya berlaku bagi individu, namun bisa berlaku juga bagi kelompok atau bahkan masyarakat luas. Apabila peribahasa ini mengacu ke suatu kelompok masyarakat berarti "Seperti masyarakat katak dibawah tempurung".

Alkisah seekor katak dari masyarakat katak dibawah tempurung itu telah berhasil mendobrak membalikkan tempurung yang mengungkungnya selama ini. Dia tercengang melihat banyak kodok bisa melompat-lompat tinggi dan jauh tanpa susah payah. Lompatan-lompatannya jauh lebih tinggi dan lebih jauh darinya meskipun ia telah berusaha semaksimal mungkin.

Ketika ada seekor kodok berhenti melompat di dekatnya, maka katak tersebut memberanikan diri bertanya:
Hai kodok!.. Bagaimana caranya engkau bisa melompat-lompat setinggi dan sejauh itu, padahal secara fisik dan usia kita khan tak begitu berbeda?

Gantian si kodok tercengang, dan jawabnya dengan rasa getir:
Hai juga katak.. Dikau ni aslinya mana sih? Kemana saja selama ini?
Semua kodok normal yang hidup di alam bebas ini ga cuma bisa, tapi bahkan biasa melompat setinggi dan sejauh ini kok. Kalo dikau mau, melompat-lompatlah bersama kami, nanti dikau juga akan bisa dan terbiasa melompat seperti kami.

Si katak baru menyadari bahwa dirinya sudah terlalu lama terkungkung dalam tempurung yang berdampak tak bisa lagi bebas melompat-lompat secara normal di alam bebas. Si katak sudah kehilangan fitrahnya sebagai kodok yang normalnya biasa melompat-lompat tinggi dan jauh. Bahkan saking kelamaannya dibawah tempurung sehingga meskipun tempurungnya sudah terbalik pun, masih tetap merasa nyaman saja berkutat didalam tempurung.

Hari ini, Rabu Pon 9 Juni 2010 bertepatan dengan selapan (35 hari) Sri Mulyani Indrawati a.k.a SMI [Minggu Wage, 26 Agustus 1962] resign dari jabatannya sebagai Menteri Kuangan RI karena pindah gawe menjadi salah 1 dari 3 Managing Director di World Bank Group pada Rabu Pon 5 Mei 2010.

Dari salah 1 dari sekian banyak pembantu presiden mengurusi 1 negara menjadi mengurusi 74 negara sebagai salah 1 dari 3 pembantu presiden President World Bank Group, Robert (Bruce) Zoellick. Mbak Ani (SMI) tercatat dalam sejarah dunia sebagai orang Indonesia pertama dan wanita asia pertama yang dipercaya menduduki jabatan tertinggi dibawah President of World Bank Group.

Di acara-acara TV dan media massa lokal, Mbak Ani sering dipandang sebagai musuh oleh banyak pihak dengan berbagai argumen. Belakangan Mbak Ani dianggap sebagai "Orang Ekonomi Makro" yang tak pantas menduduki jabatan Menteri Keuangan RI karena kurang atensi terhadap sektor riil.

Saya tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang Ekonomi Mikro dan Makro, maka saya memilih tak kan ikut-ikutan membahasnya apalagi mempermasalahkannya mana yang lebih pantas menjabat Menkeu apakah ekonom berilmu makro ataukah praktisi sektor riil seperti Menkeu saat ini (top executive perbankan). Sebagai seorang penduduk biasa yang hidup dan bekerja di Indonesia, saya hanya merasa berhak berharap semoga Menkeu sekarang bisa jauh lebih menggebrak kemajuan perekonomian Indonesia dari menteri-menteri sebelumnya dalam sejarah RI ini.

Hanya saja menurut pengalaman pribadi sebagai karyawan monoloyalitas (tidak punya pekerjaan sambilan, jabatan rangkap, dsb.), tidak mudah dan tidak banyak orang yang saya pernah tahu bisa resign dan pindah kerja di usia lebih dari 47 tahun gitu. Pada umumnya yang saya tahu kebanyakan karyawan monoloyalitas yang berusia segitu, kalau tidak pasrah menjalani rutinitas sembari menunggu waktunya pensiun, mengharapkan opsi pesangon pensiun dini untuk investasi, atau just resign untuk berwiraswasta, menikmati hari tua, dsb. Hanya segelintir kecil pekerja profesional monoloyalitas seumuran segitu yang bisa resign dari pekerjaannya dan pindah kerja ke institusi lainnya, apalagi dengan gaji yang jauh lebih meningkat beberapa kali lipat.

Belajar dari sejarah selapan lalu ini menginspirasi untuk introspeksi dan refleksi terhadap diri kita sendiri:
Bisakah kita bisa termasuk segelintir kecil orang yang mendapatkan peningkatan gaji beberapa kali lipat sekaligus kek gitu?

Apakah anugerah seperti itu dikarenakan suatu keberuntungan belaka ataukah dikarenakan dipercaya integritasnya?

Andaikata dikarenakan keberuntungan, apakah rahasia do'a-do'a mustajabnya yang bisa kita amalkan juga untuk meningkatkan gaji beberapa kali lipat gitu? Ataukah makbulnya do'a-do'anya berkat berkah telah dizalimi karena menurut pelajaran agama Islam, Allah SWT akan memprioritaskan do'a-do'a orang yang dizalimi sekalipun ia seorang kafir?

Apabila dikarenakan dipercaya integritasnya, apakah kita juga telah layak untuk dipercaya berani dan mampu sebagai katak secara konsisten dan konsekuen menghadapi gerombolan ular-ular berbisa yang siap memangsa katak dan kodok jenis apapun?

Barangkali pertanyaan-pertanyaan ke diri sendiri ini masih terlalu tinggi dan jauh bagi diri kita yang masih merasa nyaman-nyaman saja di zona kenyamanan di dalam tempurung. Pertanyaan pendahuluannya adalah apakah kita memang betul-betul ingin mendobrak membalikkan tempurung untuk hidup di alam bebas dengan segala peluang dan konsekuensinya?

Ataukah gara-gara saking lamanya merasa nyaman dibawah tempurung, jangan-jangan kita tak pernah menyadari bahwa sesungguhnya selama ini kita hidup dibawah tempurung?! Atau mungkin saja menyadarinya namun meyakini betul bahwa fitrah sejatinya memang hidup dibawah tempurung?!

Untuk bisa menyadarinya apakah kita seperti katak dibawah tempurung ataukah sudah hidup di alam bebas diperlukan sedikit pembelajaran tentang ciri-ciri, pola sikap, perilaku, kebiasaan dan pola pikir para katak di bawah tempurung.

Secara fisik, katak dalam tempurung pandangan hidupnya hanya seluas setengah batok tempurung. Pembelajaran yang didapatnya hanyalah berasal dari pengetahuan-pengetahuan yang kebetulan didengarnya saat ada katak, kodok atau binatang-binatang dan makhluk-makhluk lainnya yang kebetulan melewati tempurungnya sambil ngobrol.

Pengetahuan-pengetahuan itu bersifat maya karena si katak tak mengalaminya, seperti halnya kita memperoleh pengetahuan-pengetahuan dari bacaan, radio, TV, film, internet, dlsb. tanpa kita pernah merasakan sendiri pengalaman nyata atas pengetahuan yang kita peroleh itu. Kita belajar berdasarkan input indera kita, terutama mata dan telinga, melalui aneka aktivitas seperti membaca, mendengar, menonton sehingga memperoleh pengetahuan dan pengertian dari pikiran dan perasaaan kita. Namun bila kita mengalaminya sendiri secara nyata maka kita juga akan memperoleh pemahaman dan bisa juga mendapatkan 'sense' dari akal dan jiwa kita.

Obrolan-obrolan yang terdengar dari dalam tempurungnya cenderung disampaikan oleh para narasumbernya secara jauh lebih dahsyat dari aslinya sehingga sering menimbulkan kebanggaan dan kepuasan yang tinggi bagi pendengarnya karena merasa telah mendapatkan hidayah yang dahsyat.

Karena si katak terbiasa mendengar dan menyimpulkan sendiri obrolan-obrolan yang melewati tempurungnya, maka si katak akan cenderung memiliki keyakinan yang tinggi terhadap perasaan dan pengalamannya sendiri memperoleh pengetahuan yang diyakininya sebagai hidayahnya tersebut.

Jadi ciri-ciri katak dibawah tempurung pada saat ngobrol akan terkesan memiliki kebanggaan dan kepuasan serta keyakinan yang tinggi terhadap pengetahuan, perasaan dan pengalamannya sendiri.

Karena terbiasa hidup di dunianya sendiri sehingga terbiasa apa-apa sendiri, mikir-mikir sendiri, merasa-merasa sendiri, maka katak dibawah tempurung terbiasa tak ada yang bisa membandingkan pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaannya. Pemikiran dan perasaan pihak-pihak lain yang berbeda tak dianggapnya sebagai materi-materi pembelajaran diri yang berharga namun cenderung dianggapnya sebagai suara-suara protes katak lain atau perbandingan-perbandingan dari tempurung-tempurung lain untuk menentukan pihak mana yang menang atau kalah, benar atau salah, sehingga kecil sekali kemungkinannya tercapai mufakat dalam bermusyawarah atau berkompromi kecuali semua pihak mau senantiasa membenarkan atau mengakuinya sebagai pemenang apapun pikiran dan perasaannya. Kalaupun ada satu atau dua saja yang kurang membenarkannya atau kurang mengakui kehebatan pikiran dan perasaannya maka bisa-bisa yang terjadi adalah kontes ego antara dirinya dan pihak-pihak lain peserta kompromi tersebut.

Karena si katak tak pernah belajar berkompromi didalam tempurungnya, maka si katak akan cenderung terbiasa memiliki pola sikap dogmatis sehingga enggan belajar demokratis dalam menghargai dan menghormati, apalagi menerima, keanekaragaman pendapat dan keyakinan berbagai pihak. Baginya tak penting keinginan belajar memahami mana yang lebih benar atau salah, mana yang lebih bagus atau buruk, ... apalagi belajar saling asah, asih, asuh terhadap katak-katak lain selain hanya ingin memahami apa yang maunya dipahaminya sendiri saja. Prioritas yang paling penting bagi dirinya hanyalah bagaimana apapun pemahamannya sendiri bisa terdogmatisasikan dan terindoktrinasikan ke banyak pihak tanpa kompromi.

Karena merasa memiliki keyakinan yang tinggi dan kecenderungannya dogmatis itulah maka biasanya si katak lebih menyukai bersikapi Close Minded dan apriori terhadap Open Mind bahkan bisa memilki kebiasaan Open Mouth yang dengan penuh semangat menggebu-gebu untuk 'menolong' kaumnya dari kesesatan akibat terpengaruh keyakinan-keyakinan dan dogma-dogma yang tak selaras apalagi bertentangan dengan dirinya yang membuatnya merasa resah, gelisah, gundah dan gerah untuk pantang menyerah bersuara lantang menentangnya ala katak yaitu berkuak-kuak.

Karena terbiasa menikmati hidup sendirian dibawah tempurungnya maka si katak menjadi terbiasa menikmati sensasi pentas egonya sendiri daripada berinteraksi dan berkomunikasi dengan pihak-pihak lain. Agar sensasi pentasnya bisa lebih berasa menggairahkan maka si katak terbiasa bebas berkuak-kuak dan mengorek-ngorek segala kegelisahan dan kegundahan jiwa, perasaan dan pikirannya dari dalam tempurungnya sendiri agar bisa terdengar siapa saja yang melewati tempurungnya.

Bagaimanapun suara-suara katak berkuak-kuak dan kodok ngorek bisa berpadu mengalunkan sebuah symphony yang indah meskipun tak ada niatan sedikitpun berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapapun yang melewatinya tersebut.

Namanya juga seekor katak atau kodok yang tinggal dibawah tempurung akan merasa syah-syah saja memiliki kebiasaan atau bahkan addict berkuak-kuak dan ngorek apa saja sekeras-kerasnya dari lapaknya sendiri. Khan mereka bukan seorang manusia yang tinggal di perkampungan, komplex perumahan atau apartemen yang biasanya sungkan atau malu sendiri bila mengganggu kenyamanan dan ketenangan tetangga-tetangganya.

Seperti halnya ada pendapat yang menyatakan sah-sah saja seorang addict sensasi "berhubungan intim" dengan berbagai gaya merekam aksi-aksinya sendiri bersama pasangan-pasangan kencannya selama sama-sama menikmatinya di ruang privat, namun bila ia merasa masih kurang saja menikmati sensasinya sehingga menyebarkan rekaman-rekaman bukti keperkasaannya tersebut agar berasa lebih sensasional lagi maka akan meresahkan banyak pihak yang belum tentu sepaham dengannya. Sah-sah saja karena secara hukum yang sah tidak bersalah selama tak ada individu atau pihak yang mengadukan atau menuntutnya, misalnya suami/istri atau keluarga salah satu pasangan kencannya yang merasa dirugikan, namun karena mengganggu etika sosial maka orang tersebut bisa terkena sanksi sebagai asosial (unethic). Seekor katak dibawah tempurung bukanlah makhluk sosial, bahkan bisa jadi makhluk asosial.

Adapun pola pikir katak dibawah tempurung tak bisa jauh-jauh dari berdasarkan perasaan, pendapat dan pengalamannya sendiri mendengar obrolan-obrolan maya yang kebetulan terdengar saat ada narasumber yang kebetulan melewati tempurungnya tersebut. Dengan demikian wawasan dan topik-topik obrolannya pun sering tidak berdasarkan kenyataan secara common sense, namun obrolan-obrolannya lebih kerap berkembang berdasarkan akal dan rasa.

Karena kebiasaanya terlalu mendasarkan pada akal sehingga sering terjerumus kedalam dolah-dalih pembenaran-pembenaran sikap dan pendapatnya sendiri daripada keinginan untuk mencari tahu atau memahami kenyataan. Sedangkan kebiasaannya terlalu mendasarkan pada rasa mengakibatkan sering terperdaya oleh antusiasnya sendiri bagaikan bocah Autis yang tak bisa kehilangan sejenakpun menikmati keasyikannya sendiri sehingga lama-kelamaan menjadi Apatis terhadap kenyataan lingkungannya. Katak Autis bisanya berkuak-kuak sendiri, dan kodok Apatis bisanya asal berisik secara ngorek-ngorek yang sering disebut sebagai "Kodok Ngorek".

Demikianlah sekelumit fenomena-fenomena logis kepicikan katak dibawah tempurung. Selebihnya katak itu sendirilah yang tahu persis apa motivasinya (What), dimana terjadinya (Where), sejak dan sampai kapan (When), bagaimana bisa (How), dan mengapa (Why) dirinya dibawah tempurung gitu.

Dari sini kita bisa mengukur diri seberapa piciknya diri kita sendiri. Jika kita tak merasa memiliki satu pun ciri-ciri, pola sikap, perilaku, kebiasaan dan pola pikir yang demikian berarti barangkali kita sudah tidak berada lagi dibawah tempurung. Apabila kita masih merasa berkutat di sekitaran tempurung maka selanjutnya adalah berproses untuk melatih diri survive agar tak tewas dimangsa makhluk ganas di alam bebas dengan lompatan-lompatan yang jauh lebih tinggi dan lebih jauh. Sekalinya berproses maka cepat atau lambat, kerap atau jarang, pasti akan menemui sedikit atau banyak indahnya dunia nyata.

Sebaliknya, jika kita merasa masih berada dibawah tempurung maka kembali ke pertanyaan awal yaitu seberapa antusiasnya dan agresifnya kita mendobrak membalikkan tempurung yang telah mengungkung dan membatasi potensi-potensi kemampuan kita selama ini. Apabila kita masih merasa enggan mendobrak membalikkan tempurung dengan alasan takut terhadap dampak dan akibat perubahan-perubahan yang mungkin saja tak sesuai harapan maka ...... baca dulu Jangan Takut Berubah ini deh.

Postingan ini termotivasi oleh cerita-cerita horor baik jarak jauh, sedang dan dekat pada hari ini yang berasa diluar dunia saya karena belum ada dalam pustaka pengetahuan saya.

Cerita jarak jauh saat tadi pagi saya terbengong-bengong mendengar obrolan para rekan-rekan karyawan perusahaan-perusahaan MNC Jepang membahas pra, proses, dan paska mundurnya Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama seminggu lalu setelah menjabat 8 bulan berkat keberhasilannya mengalahkan kubu konservatif yang telah berkuasa lebih dari setengah abad di PEMILU. Terlalu banyak cerita-cerita horor di obrolan mereka yang belum pernah saya bisa bayangkan sebelumnya.

Cerita jarak sedang diantaranya, siangnya saya baru dengar obrolan tentang teridepaknya se-gang top executives bersama gerobaknya di sebuah bank terkemuka. Selain itu, sore tadi saya dengar dari obrolan sesama insan Telko yang mengisahkan pengajuan pengunduran diri sekaligus beberapa direksi perusahaan Telko terkemuka di negeri ini yang mungkin juga akan segera diikuti petinggi-petinggi lainnya setelah dipicu peristiwa yang menurut pengetahuan saya seharusnya tak kan menimbulkan efek sedahsyat itu. Sampai sebelum ngetik postingan ini tadi saya belum menemukannya referensi dari sumber berita untuk konsumsi publik.

Cerita jarak dekat adalah baru saja larut malam ini saya kedatangan tamu pasutri yang nangis-nangis menceritakan nasib anaknya yang tragis. Haiayaa... seharian kok cuman terbengong-bengong melulu dengerin cerita-cerita horor sana sini bagai katak dibawah tempurung saja. Kata ABG masa kini, "Dooh!.. Betapa cupunya gua yah?!"

Terlepas benar tidaknya cerita-cerita horor hari ini tersebut, namun kenyataan adanya cerita-cerita horor itu sendiri telah membuka mata saya melihat betapa piciknya diri saya. Oleh karena itulah saya pribadi pun rasanya ingin mendobrak membalikkan batok tempurung dan meninggalkan kepicikan-kepicikan diri selama ini agar bisa melihat betapa banyaknya bintang-bintang di langit yang teramat luas and then... face the world as it is!

Andaikatapun ada handaitaulan yang masih memilih menikmati zona kenyamanannya Seperti Katak Dibawah Tempurung atau Seperti Katak Didalam Perigi, maka kita tak harus memaksa mereka untuk mendobrak tempurungnya selain hanya bisa pamit untuk memenuhi panggilan jiwa kita tuk menjalani fitrahnya sebagai manusia normal yang memiliki kemampuan melihat Seperti Mata Dewa. Sah-sah saja menghibur mereka agar merelakan kepergian kita. Misalnya bila handaitaulan kita itu ngefans Iwan Fals, maka perdengarkanlah lagu ciptaan Setiawan Djodi ini...

...
Aku berdiri tinggalkan dirimu
waktu sinarnya jatuh di jiwaku
... ... ...
... ... ...
Yang menangis.. tinggalkan diriku
Yang menangis.. lupakanlah aku
... ... ...
Seperti Mata Dewa ...

43 comments:

  1. Benar2 inspiratif mas postingannya.
    Moga aja pikiran yang dangakl itu bisa segera berubah dan kita bisa mendobrak rasa picik itu :)

    ReplyDelete
  2. Ya memang... jangan jadi katak dalam tempurung. Tetapi jikalau si katak sudah lepas dari tempurungnya juga jangan puas diri, tetaplah berlatih melompat setinggi-tingginya agar ia menjadi pelompat tertinggi tanpa harus melecehkan katak-katak lain yang hanya bisa melompat lebih rendah darinya atau bahkan jangan melecehkan pula katak2 lain yang masih dalam tempurung. Lebih baik difikirkan bagaimana kita membantu katak2 malang itu keluar dari tempurungnya...

    ReplyDelete
  3. Nice inpo mas... Kita jangan sampe seperti katak yg sombong yg berpikir bahawa dia adalah absolut.

    ReplyDelete
  4. @Narzis Blog

    Trims mas zhapto. Kebetulan aja ada crita2 horor seharian itu. Bahkan saat sy ngetik postingan ini hampir tengah malam pun masih dengar brita meninggalnya tetangga belakang rumah. Beberapa hari sebelumnya tetangga sebelah rumah meninggal setelah sakit bbrp hari dg latar belakang crita horor bagi sy juga.

    ReplyDelete
  5. @Yari NK

    Hehe... trims pringatannya pak yari. Ini baru sebatas postingan alias ngomong doang kok.
    Btw slain termotivasi crita2 horor itu, kebetulan juga habis baca tabloid kontan edisi khusus dg judul membangun bisni dari nol....

    Soal membantu katak2 malang itu, sy stuju2 aja sih, asal tak memaksanya kluar dr tempurungnya klo katak2 itu emang keukeuh pisan ga mau kluar

    ReplyDelete
  6. @Anggi Zahriyan

    Amin. Sakses ya ujian2nya mas ponggi :)

    ReplyDelete
  7. Bener sekali Mas, kadang aku sendiri juga masih merasa seperti katak dalam tempurung. Trims Mas motivasinya.

    ReplyDelete
  8. kunjungan balik, makasih udah mampir..

    tadinya akau kira mau cerita tentang kodok aja, eh ternyata ada nyerempet2 ke ekonomi makro mikro dan sro mulyani, hehehe..

    ReplyDelete
  9. @Anak Rantau

    sama2 bro, modah2an bisa memotivasiku jugak mendobrak tempurung2 besar n kecil, tebal n tipis, etc. etc....

    ReplyDelete
  10. @Naila

    ya begitulah mbak naila, salah satu bukti klo diriku juga blum bisa lompat2 tinggi n jauh ala kodok koz klamaan dibawah tempurungnya.... hehe....

    ReplyDelete
  11. @secangkir teh dan sekerat roti

    salam hangat balik mas affan.. met wiken yaa....

    ReplyDelete
  12. lagi ngomongin bu sri mulyani ya?

    ReplyDelete
  13. @Quinie

    tepatnya bukan lagi ngomongin tapi TERomongin sbg salah 1 nomina omongan aja

    ReplyDelete
  14. Luar biasa pencerahannya Mas
    Salam kenal

    ReplyDelete
  15. tak lelah untuk peka membuka mata pada apa yang terjadi pada dunia, namun jangan lupa menggenggam diri pada nurani dan hindari arus yang menghanyutkannya, salam paklik kunjungan balik nih sekalian nyemplung pertama kali di sinih

    ReplyDelete
  16. ulasan dan analoginya menari, mas hastu. biasanya orang akan muncul dan terangsang kreativitasnya ketika sedang dalam posisi terjepit dan teraniaya. kodok pun pasti akan berupaya utk bisa keluar dari cengkeraman tempurung kelapa itu.

    ReplyDelete
  17. @Komunitas Salesman

    thengs dab... salam jape methe..
    hehe.. bisanya gini doang

    ReplyDelete
  18. @si Paijah

    ho'o mbak erni, eh mpok paijah...
    peka buka mata spt mata dewa yaaa... agar bisa lihat apapun yg terjadi pd dunia adalah pelajaran berharga meskipun itu dinamakan masalah n duka....

    ReplyDelete
  19. @sawali tuhusetya


    Trims pak sawali, se7 kodok yg biasanya lompat2 di alam bebas tiba2 ketutup tempurung scr naluriah akan berupaya keras mendobrak tempurungnya.
    Hanya saja topik kali ini kodoknya udah terlalu kelamaan skali ketutup tempurungnya, jadinya lama klamaan ya bisanya mensyukuri n menikmati aja zona kenyamanan dibawah tempurungnya :)

    ReplyDelete
  20. Pemaparan yang menarik.
    Nice posting, kawan. Salam

    ReplyDelete
  21. Dengan mengenal diri sendiri, seseorang akan sadar dan mengerti tentang kemampuan, karakter, potensi dan kekurangan yang dimiliki di bumi mana ia bertempat serta berdiam diri. Dengan pencapaian kesadaran itu pula, setiap individu yakin akan adanya kekuatan, kekuasaan Maha Besar yang berada jauh dibandingkan dengan dirinya.

    Cerahkan hati dengan pancaran sinar Illahi
    Tebarkan kedamaian dengan cinta kasih dan kelembutan.
    Tetaplah berkarya mengisi kreatifistas dengan pancaran cahaya Illahi
    Karyamu tetap dinanti.......

    ReplyDelete
  22. dicerca dan disingkirkan setelah itu mulailah memasukkan niat kejinya hahahaha

    maaf ini adalah gambaran dari segerombolan manusia yang tebal muka yang berharap "katanya" bisa membangun desa, sebuah pola yang menganggap bahwa rakyat bisa diming-imingi dengan kebohongan nyatanya mereka berniat menggembosi negara ini

    terbukti setelah hengkangnya putra terbaik, mereka yangpunya niat jahat mulai melakukan trik jahatnya

    Selamat

    eh mas postingannya keren

    ReplyDelete
  23. Aku juga tak ingin spt katak di bawah tempurung.. agar tak kaget2 dg apa yg terjadi dalam hidup ini.

    ReplyDelete
  24. Wah keren nih.., mengulasnya secara detil lagi.
    Thanks ya sharingnya.

    ReplyDelete
  25. jaman semakin canggih, kok banyak orang yang malah semakin pisik yo?

    ReplyDelete
  26. @EYANG RESI 313

    sendiko dawuh eyang guru resi durna... ....

    btw, baru ketemu seniornya seniorku neh.... blugudur monyor monyor.... hohohoooo....

    ReplyDelete
  27. @PakOsu

    trims pak osu, salam balik! :)

    ReplyDelete
  28. @Omiyan

    akhirnyaaa...... ada juga yg nyamber nyamber kesituh situh... hahaha...

    Ya beg..beg.. begtulah yg namanya gerombolan. Btw, klo maen ke jkt, sempetin mampir di Blitz BI, ada film Raajneei yg kurlebnya spt Om Iyan bilangin ituh. Grombolan2 itu emang dah bawaannya ga bisa jauh2 trik2 jahat, konflik, intrik, munafik, etc...

    Mungkin mereka sebenernya ga niat jahat, cuman ga tau aja indahnya niat baik karena kelamaan terkurung dibawah tempurung jahat... ;)

    ReplyDelete
  29. @catatan kecilku

    kayaknya ga ada yg mau spt katak dibwh tempurung gitu deh...
    Makanya kenali gejalanya, cegah penyebabnya, n antisipasi akibatnya

    ReplyDelete
  30. @the others..

    sebenernya habis nulis ini trus baca ulasan bu reni soal ego sentris itu 11/12 BeTi deh... beda2 tipis...

    ReplyDelete
  31. @Ndoro Seten

    mas anang, maxsudnya Canggih tuh cangkem inggih? Nggih.. ndoro...
    heheh...

    ReplyDelete
  32. @joe

    salam kenal kembali mas Joe.
    Wah, kayaknya seneng klenik ya? Aku juga pernah kuliah elektroKlenika loh...

    ReplyDelete
  33. ga mau jadi katak dalam tempurung ah :D

    tulisannya keren! ^_^

    ReplyDelete
  34. pertanyaannya adalah
    bagaimana mengukur seberapa tinggi tempurung yang kita diami?
    atau
    bagaimana kita keluar darinya?

    ReplyDelete
  35. very nice mas, kunjungan balik...

    ReplyDelete
  36. Mampir lagi Mas, ditunggu pencerahan berikutnya.

    ReplyDelete
  37. nice post mas
    ditunggu kunjungannya

    ReplyDelete
  38. wadoh pinter jg tuh katak,...
    bisa kalah jg manusia ma tuh katak,....

    ReplyDelete
  39. Artikel yang Menarik apalagi Tipsnya menambah wawasan. ditunggu Artikel berikutnya.

    ReplyDelete
  40. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete