Saturday, December 16, 2006

Layanan Informasi Kesehatan Terpadu

Pagi ini mengantar orang tua ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan CT scan. Terdapat protokol-protokol dalam proses pemeriksaan medis ini, seperti meminum segelas cairan sesuai takaran yang diajarkan oleh perawat.

Sebelumnya beliau menjalani pemeriksaan colonoscopy. Bagi orang awam kesehatan seperti saya, cara pemeriksaan ini merupakan proses dengan alkes (alat kesehatan) yang canggih. Usus dan segala isinya dapat diamati dengan menggunakan semacam robot seperti ular. Robot itu bisa jalan, berhenti, belok dan bahkan meliuk-liuk dalam usus dengan dikendalikan oleh seorang dokter seperti main game PS-2, dan didamping perawatnya yang mengulur-ulur benangnya seperti main layangan. Bahkan, mirip dengan ular betulan, robot tersebut bisa menyemburkan cairan berwarna kebiru-biruan. Selain itu robot tersebut juga dilengkapi kamera (entah berapa Mega pixel) yang bisa melihat secara real-time apa saja disekelilingnya. Seperti main game VRML (Virtual Reality) tapi dokternya tidak perlu pakai kacamata elektronik khusus, cukup melihatnya di layar monitor sebesar TV yang kemudian direkam sebagai video logger. Hasil rekaman ini bisa di-print seperti foto berwarna yang jelas banget gambarnya.

Sepertinya pemeriksaan colonoscopy ini mirip dengan apa yang pernah dijalani isteri saya beberapa tahun yang lalu (kalau tak salah sekitar 7 tahunan yang lalu) di sebuah rumah sakit swasta di bilangan Kemayoran. Waktu itu namanya bukan colonoscopy tapi endoscopy. Yang kelihatan paling beda adalah dari mana masuknya si robot tersebut. Jika colonoscopy dari dubur, sedangkan endoscopy dari mulut. Mungkin colon berarti dubur, sedangkan endos berarti mulut. He he... (ngawur poll)

Menurut dokternya, belum semua rumah sakit di Indonesia memiliki alkes seperti ini. Kemudian ketika saya tanyakan dimana saya bisa memperoleh informasi atau data-data rumah sakit mana saja yang sudah memiliki alkes seperti ini, beliau pun tak bisa mejawab pasti. Saya pikir tanpa transparansi atau keterbukaan informasi dan data kesehatan seperti ini, bisa saja para dokter merekomendasikan rumah sakit mana paling sesuai selera atau kepentingannya pribadinya tanpa memberikan alternatip pemeriksaan lain ke pasiennya.

Saat ini rasanya masih susah betul bagi masyarakat untuk memperoleh informasi di bidang kesehatan. Paling tidak, tak semudah di bidang telekomunikasi, jika kita ingin menanyakan informasi nomor telepon dan alamat seseorang atau perusahaan tinggal telpon saja ke 108 di hampir seluruh kota di Indonesia, selanjutnya operator yang akan berusaha mencarikan informasi dan datanya untuk penelpon.

Meskipun Menteri Kesehatan sudah ada sejak republik ini merdeka, sampai di jabat Bu Dr. Siti Fadilah Supari saat ini pun belum pernah ada layanan informasi kesehatan yang dapat diakses secara mudah dan transparan oleh masyarakat dimana saja seperti layanan informasi di bidang telekomunikasi itu. Sebegitu rendahnyakah prioritas layanan informasi kesehatan terpadu bagi masyarkat luas?? Tidak harus dimulai dari informasi kesehatan yang canggih-canggih amat, namun bisa dimulai dari informasi kesehatan sederhana yang sekiranya sering dibutuhkan oleh masyarakat seperti nomor telepon, alamat dan jam buka dari rumah sakit, apotik, praktek dokter, UGD, RSUD, dsb. Sistem informasi kesehatan ini pun juga bisa dikembangkan ke informasi kesehatan lainnya seperti fasilitas alkes tertentu ada di rumah sakit mana saja, harga rawat inap, dan saya kira masih banyak lagi informasi kesehatan yang berhak diketahui oleh masyarakat secara mudah dan transparan.

Selanjutnya layanan informasi kesehatan ini bisa dikembangkan sebagai layanan informasi kesehatan terpadu, dimana content informasi kesehatan bagi masyarakat terpadu dengan informasi dan data khusus bagi kalangan medis maupun dinas kesehatan lainnya. Jika perlu, dengan menggunakan nomor bebas pulsa maka para dokter di puskesmas terpencil pun tak perlu ragu-ragu menelepon ke pusat layanan informasi kesehatan nasional mengenai masalah yang dihadapinya ke operator layanan informasi kesehatan nasional.

Barangkali hal demikian sudah tercakup dalam sistem informasi kesehatan nasional dan daerah (SIKNAS dan SIKDA). Kalaupun betul demikian, berarti diperlukan langkah-langkah sosialisasi saja agar masyarakat luas bisa mengetahui nomor telepon untuk layanan informasi kesehatan tersebut. Namun dari googling sepulang dari rumah sakit, kelihatannya banyak pihak berpandangan bahwa masalah utama adalah pengumpulan dan update data khususnya data dari daerah. Bahkan ada yang berpandangan pengumpulan dan update data ini tergantung ada-tidaknya koneksi internet atau intranet (LAN/WAN). Lhoh?!

Jangankan puskesmas kecil di kota terpencil, sebelum wafatnya Pak Prof. Samaun Samadikun bulan lalu minta koneksi internet di RS MMC Kuningan Jakarta saja tidak bisa dipenuhi dengan alasan tidak ada fasilitas internet di RS tersebut kecuali koneksi khusus direktur utama.

Inilah masalah yang belum mampu saya pahami hanya dengan googling saja. Mungkin saya perlu kuliah di jurusan Sistem Informasi Kesehatan di UGM atau di perguruan tinggi lain agar mampu memahaminya. Masalahnya, saya sendiri tak yakin apakah saya masih memiliki kemampuan kuliah ataukah tidak.

Saat ini, di benak saya hanya terbayang, jika protokol pengumpulan dan update data sudah benar maka kondisi infrastruktur bukanlah suatu kendala yang berarti. Misalnya nih, kalaupun di daerah tersebut belum ada internet, ya diminta saja operator didaerah itu menelpon atau kalau perlu ditelpon secara periodik dengan sistem aplikasi komunikasi yang sering disebut sebagai telemarketing atau campaign outbound. Jika belum ada sambungan telepon Telkom, khan ada layanan GSM yang investasi BTS-nya umumnya lebih fleksibel daripada menarik saluran kabel. Jika dinilai investasi BTS tidak memungkinkan, bisa cukup dengan membeli pesawat layanan telepon satelit Byru. Kalau pun hal ini tidak memungkinkan, masih memungkinkan update via jasa layanan pos surat. Andaikata pos surat tersebut tidak datang tepat pada waktu yang telah dijadwalkan, tentunya ada log-log yang bisa dijadikan dasar untuk analisa dimana letak permasalahannya.

Setidaknya, andakaita belum bisa sampai taraf terpadu pun, sudah selayaknyalah layanan informasi kesehatan bagi masyarakat luas sudah merupakan bagian program dan strategi Departemen Kesehatan dalam mencapai target Indonesia Sehat 2010 yang telah dicanangkan sejak tahun 1999.

3 comments:

  1. di bbrp pelayanan kesehatan swasta, sistem ini nampak lbh baik, knapa ya..apa krn orientasi bisnisnya (+ sosial kemanusiaan tentunya)..

    ReplyDelete
  2. @cakmoki: wah... terus terang aja kalo ditanya profesi apa yang bikin saya paling minder adalah dokter puskesmas, apalagi di daerah terpencil. Gak usah pake sumprit pun saya pasti percaya, andaikata pun ditipu mereka saya juga ikhlas kok. Ha ha...

    @dani: kalo RS swasta secara umum saya tak tahu, tapi RS swasta internasional di Jakarta umumnya sudah punya 'template' dari sononya yang menentukan standard layanan informasinya via telpon yang terukur dan selalu dianalisa.
    Darimana saya tahu ini? Karena template itu juga sudah menentukan merek telpon yang wajib dipasang. He he.. (eh! saya gak promosi lho, ini khan blog personal)

    ReplyDelete
  3. trims,
    mo nanya apa aj gak wajib beli kok, buebass sebebas-bebasnya. Hanya aj belon tentu saya bisa njawab hi hi..
    Merek tilpunnya gak ada template n paket2an. Kalo mo contoh yg kecil2, cari aj di BRI (mungkin ada juga di Palaran, gak apal). Contoh yg gedean di PKT, cari aj tukang tilpunnya (titip salam dr saya).

    Btw, kalo butuh info kirim nomor tilpunnya ke pbx @ SoftHome.net, biar 'ntar temen saya aj yg call kesitu

    ReplyDelete