Wednesday, December 13, 2006

Beras-Beras Kaca

Gelas-gelas kaca
Tunjukkan padaku
Siapa diriku ini
...
(whew!... ternyatah baru bbrp bulan paska kisah ini diposting dimare, di yutup dah ada yg ngaplot klip versi karokeannya neh)



Ini adalah penggalan lagunya Nia Daniati (versi keroncongnya ada di CD Sundari Sukoco). Saya ingat lagu ini saat tadi siang menunggu seseorang cukup lama di ruangan serba kaca di pinggiran pantai Ancol. Disitu direncanakan akan dibangun kompleks perumahan dengan fasilitas komplit. Lagu itu mengingatkan siapa diri saya ini, yang ternyata tidak ada apa-apanya. Mau berapa tahun pun saya menabung dengan gaya hidup sengirit-ngiritnya, rasanya tak bakalan mampu membeli satu rumah pun disitu.

Akhirnya yang kami tunggu datang juga saat waktu makan siang. Dari kartu namanya saya tak tahu pasti apa jabatannya, tapi sepertinya orang IT atau engineering. Kami pun bertemu sebentar saja. Selain kami sudah lapar, beliau juga sudah paham tentang perteleponan sehingga saya tak perlu menjelaskan panjang lebar lagi. Sewaktu pulang beliau menawarkan makan di restoran kaca di samping ruangan tempat kami bertemu yang dipisah oleh pintu kaca.

Katanya restoran ini terkenal enak, bahkan kalau malam minggu banyak orang pada sabar menanti antri karena kehabisan tempat duduk. Siang tadi saja restoran besar ini kelihatan penuh. Salah satu keistimewaannya, selain kokinya yang terkenal juga nasinya menggunakan beras organik. Katanya beras ini ditanam secara alami tanpa pestisida dan pupuk-pupuk kimiawi inorganik lainnya. Oleh karena itulah beras ini diyakini jauh lebih bagus untuk menjaga kesehatan. Semakin kecil unsur kimianya maka beras itu dipandang semakin organik. Masa panennya pun semakin lama maka semakin bagus, idealnya bisa 5 sampai 15 tahun. Saya masih suka salah sebut sebagai beras Ori, seperti penjual asesori HP saja: mau Ori atau Tw? (maksudnya barang original atau Taiwan).

Katanya sekarang sudah mulai banyak restoran yang membatasi nasinya hanya menggunakan beras organik. Karena banyaknya permintaan inilah, sehingga banyak petani padi di republik ini yang rame-rame tanam beras organik belakangan ini. Selain untuk konsumsi restoran dalam negeri, kebanyakan beras organik ini diekspor. Pantas saja harga beras biasa (non organik) belakangan ini naik drastis tak terkendali. Stok beras dalam negeri lama-lama menipis, padahal orang Indonesia pengkonsumsi beras. Tak kurang dari Gubernur DKI Sutiyoso, Menteri Perdagangan Mari Eka Pangestu, Menko Perekenomian Boediono tiba-tiba kepanikan gara-gara beras. Nah lo... nah lo....

Hmm... bisa jadi saat ini belum ada Sistem Informasi Beras Nasional sehingga stok beras tidak bisa diprediksi secara presisi oleh para pakar dan analis perberasan. Operasi pasar pun digelar dmana-mana. Entah apa efeknya, kalau pun mampu manahan naiknya harga beras, sampai berapa lamakah?

Orang yang kami temui tadi pun mendesak kami untuk mencicipi restoran kebanggaannya tersebut. Dari kaca pembatas, kelihatan restoran sudah mulai agak kosong. Saya tak melihat ada bekas-bekas asap, mungkin karena ruangan yang ber-AC itu tertutup rapat oleh kaca. Oleh karena itulah dengan segala daya saya berusaha menolak penawarannya secara halus.

Di perjalanan pulang, satu dari dua orang teman sempat menyatakan keheranannya mengapa saya tidak memenuhi penawarannya. Saya jawab saja:
"Hari ini saya lagi tak pengin makan nasi di restoran alias warung yang berkaca".
Teman saya satunya yang sama-sama sekantor, nampaknya bisa memaklumi apa yang saya maksudkan. Kami pun menuju warung soto mie yang terletak di jalan Lautze dalam di kawasan jalan Kartini. Menurut hemat kami, warung ini tidak bisa dikategorikan sebagai restoran karena memang tidak tertutup oleh kaca.

0 comments:

Post a Comment