Friday, November 10, 2006

Pejabat Yang Merakyat

Hari ini pergi jumatan rame-rame bersama rekan-rekan ke masjid Istiqlal. Selepas salat saya lihat Pak Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia, berada satu baris di belakang saya. Saya tidak tahu apakah beliau satu-satunya pejabat tinggi negara yang bila jumatan di Istiqlal tidak pernah di VIP (di belakang imam), ataukah kami tahunya hanya beliau saja dari ribuan umat yang jumatan. Yang jelas, beliau juga sering pergi jumatan rame-rame bersama rekan-rekannya ke masjid Istiqlal.

Di tempat biasa kami memakai sepatu, seorang rekan entah berkomentar atau bertanya:
"Pak Abdullah itu pejabat yang merakyat, ya Pak? Biasanya pejabat tinggi negara khan lewat pintu VIP tapi beliau kok mau selalu lewat pintu biasa seperti kita-kita saja ya?"

Rupanya pertanyaan atau komentar rekan saya tersebut berlatar-belakang: dari mata turun ke hati. Apa yang nampak dimata menjadi buah hati. Tanpa sok merakyat, orang akan dengan mudah menilainya secara spontan dan jujur. Merakyat diartikannya sebagai mudah dipahami dan diteladani oleh rakyat.

Merasa tak yakin apakah rekan saya tersebut sekedar berkomentar atau serius bertanya, saya pun balik bertanya:
"Mana yang lebih baik: pejabat yang merakyat ataukah pejabat yang bermanfaat buat rakyat?"

Siapa pun tahu maunya sih dua-duanya, tapi ini bukanlah jawaban dari pertanyaan tersebut. Tidak banyak individu yang punya segalanya, meskipun banyak individu ingin punya segalanya. Misalnya ingin cerdas, berpendidikan tinggi, kaya raya, baik hati, mandiri, pintar bergaul, pintar berdandan, pintar masak, setia, cantik lagi. Tidak bisa semuanya sama rata, mau tidak mau harus memilih (atau terpilih) sesuai bakat dan minat masing-masing individu. Mungkin karena bingung atau ragu-ragu sama jawabannya sendiri, rekan saya tersebut balik menanyakan apa jawaban yang benar.
Saya jawab:
"Itu khan urusan ilmu sospol. Kuliah di sospol pun saya belum pernah, bagaimana saya bisa menjawabnya dengan benar?!"

2 comments: