Wednesday, November 15, 2006

Kesetaraan dalam Persahabatan

Obrolan yang lagi 'in' diantara rekan-rekan adalah kehebatan jip Mercedes Benz 300GD (G-Class) tahun 1988 yang dipakai untuk keliling dunia. Obrolan ini konon hasil nonton TV acara wawancara dengan petualangnya yang lagi di Jakarta. Barangkali karena saya tak pernah terpikir untuk keliling dunia maka saya tak tertarik obrolan ini.

Entah dapat koran dari mana, mungkin bawa dari rumah atau beli di kereta tadi pagi, seorang rekan menunjukkan artikel dengan foto jip petualangan tersebut. Sesaat saya tak begitu tertarik membacanya. Namun sewaktu terbaca sub judul diatasnya Gunther W Holtrof, saya pun kaget tak menyangka:
"Lhoh itu khan Pak Gunther??"

Rekan saya gantian heran dan menanyakan apakah saya kenal dengan petualang tersebut. Saya jawab:
"Lha kalo wong ndeso tur bodo kayak guwe, yang bertaon-taon kagak apal-apal juga jalanan Jakarta, mana ada sih yang gak kenal Pak Gunther pembikin peta Jakarta?!".

Si bule jerman ini dikenal dari legendanya dalam menyusuri jalanan dan gang sendirian bikin peta secara manual (tanpa GPS, foto satelit, dsb). Kalo orang ke toko-toko buku dan membandingkan peta -peta Jakarta, maka saya yakin kebanyakan orang masih mengakui petanya paling komplit dibandingkan peta-peta lain karya cipta perorangan atau institusi. Rasanya peta ini hasil karya yang luar biasa dari seorang biasa yang pernah tinggal hanya 6 tahunan di Jakarta pas jamannya Pak Cokropranolo jadi gubernur DKI. Padahal di Jakarta terdapat berbagai institusi pemerintah urusan jalanan disamping ada perguruan tinggi negeri dan swasta terkemuka yang punya jurusan geografi sejak dulu.

Oeroeg 1993Saya pun lantas teringat film Oeroeg (1993) yang salah satu figurannya lumayan dikenal di Indonesia yaitu Ayu Azhari sebagai Asih. Film ini mengisahkan seorang bernama Oeroeg, anak tukang kebun yang waktu kecilnya seneng maen oeroeg-oeroeg tanah. Sejak kecilnya ia bersahabat dengan Johan, anak mandor perkebunan asli Belanda. Johan digambarkan tumbuh sebagai pemuda yang ramah, baik hati dan rendah hati. Sedangkan Oeroeg digambarkan sebagai pemuda yang keras, gak mau kalah dan agak-agak belagu. Tidak seperti sinetron di TV-TV saat ini, tidak ada yang digambarkan ekstra ekstrim seperti baik dan jahat banget, pinter dan bego banget, dsb. Hanya saja karena perbedaan status sosial yang menyolok di masyarakat waktu itu, maka sebagaimanapun akrabnya persahabatan mereka tetap saja ketidaksetaraan sering tak bisa terhindarkan.

Contohnya, sewaktu nonton bioskop layar tancap Tarzan, meskipun Johan sudah berusaha ngotot untuk duduk di bangku pribumi, tapi para petugas tetap melarangnya dengan alasan hanya menjalankan peraturan. Orang bule nonton normal dari depan layar sedangkan wong pribumi nontonya dari arah sebaliknya. Kondisi ini bikin gondok Oeroeg dan bikin Johan jadi gak enak ati. Mungkin karena tidak tahan di-nomor duakan terus, Oeroeg menghilang yang ternyata menjadi ketua barisan republikien. Johan jadi commandant militairen dan selalu mencari Oeroeg sebagai seorang sahabat lama. Namun Oeroeg senantiasa berusaha menghindar dari ajakan persahabatan Johan.

Pada akhir cerita, pihak Belanda menghendaki Johan dibebaskan dari tawanan dan kaum republikien menyetujuinya dengan syarat dibebaskan sejumlah tawanannya yang diantaranya termasuk Oeroeg. Pada saat prosesi pertukaran tawanan, di tengah-tengah jembatan Johan bertemu Oeroeg yang baris paling belakang. Karena mengetahui perang akan selesai, Johan pun merasa optimis lagi bila Oeroeg bakalan mau diajak bersahabat kembali sehingga dia tak segan-segan mengulurkan tangan sambil berkata dengan nada ajakan:
"Kita akan bersahabat lagi khan?"
Anak tukang kebun tersebut tidak menyambut jabat tangan (mantan) sahabatnya sambil menjawab dengan mantap:
"Belum, selama satu orang Belanda masih setara dengan 30 orang Indonesia!"

Sampai sekarang pun di berbagai perusahaan, pada umumnya orang bule gajinya berapa kalinya warga pribumi meskipun umur, pengalaman kerja dan tingkat pendidikan sama? Padahal orang bule yang kerja di Indonesia umumnya adalah bukan bibit kelas satu di negerinya. Kalo pun mereka memiliki kemampuan memilih pekerjaan, tentunya mereka akan jauh lebih memilih kerja di negerinya sendiri. Bisa jadi perbedaan gaji tersebut dikarenakan kualitas hasil kerja bule memang jauh melampaui kemampuan rekan-rekan kerja pribuminya. Setidaknya, mau diakui ataupun tidak, pada kenyataannya sampai kini hasil karya dan kerjasama institusi-institusi lokal dan nasional yang punya banyak staf ahli, komputer dan peralatan-peralatan pemetaan canggih lainnya masih belum dipandang setara dengan hasil kerja manual seorang bule biasa bernama Gunther W Holtrof.

3 comments:

  1. dowo bgt critane.....hebat ,,...!!!
    thx dah mampir escoret

    ReplyDelete
  2. Oh ya??? Thx atas kritiknya.
    Soalnya masih pemula sih, so sekalinya ngetik masih suka kelupaan ngeremnya he he..

    ReplyDelete
  3. gaji para expat di Jakarta tidak hanya terdiri dari basic salary thok, biasanya ada allowance/tunjangan lainya, seperti (mungkin) separation allawance, hazard/hardship allowance dan lain sebagainya yang kalau di tambah-jumlahkan bisa 10 kalia atau lebih dari standar gaji staff nasional setempat..semuanya itu juga bergantung pada commercial index rate yg dipakai si institusi yang menggaji si kampret bule itu :)

    Sama kok, gaji seorang expat-jawa di afrika, negeri nan bau kelek ini juga berbeda antra 15 sampai 18 kali lipat gaji kampret lokal disini..

    Seneng udh bisa mampir kesini, salam kenal dan salam hangat dari negeri si bau kelek!

    ReplyDelete