Sunday, November 05, 2006

Kembali Berhubungan

Bulan Syawal banyak dimanfaatkan berbagai kalangan untuk merefresh hubungan persaudaraan atau pertemanan yang sering disebut sebagai silaturahmi. Saudara atau teman yang sudah lama tak berhubungan bisa kembali berhubungan melalui acara-acara seperti halal bihalal, syawalan atau sebutan yang tren masa kini yaitu Open House. Meskipun masih menggunakan bahasa asing, namun Open House biasanya dipandang sebagai istilah yang lebih mewakili lintas agama dan golongan sebagai sarana untuk kembali berhubungan.

Pagi ini kami kedatangan tamu rekan saya sekantor beserta keluarganya dan keluarga kerabatnya dari kampung halamannya. Mereka sampai Jakarta kemaren. Kami tidak menyangka akan kedatangan tamu secepat ini. Pada bulan syawal seperti ini biasanya teman-teman datang ke rumah setelah minggu ketiga dari hari masuk kantor paska libur lebaran. Itupun sekedar kebetulan mampir saja.

Pak Harto dan Mbah Marijan Beda halnya dengan masyarakat yang berduyun-duyun syawalan ke rumah Pak Harto dan Mbah Marijan pada hari raya Idul Fitri yang lalu. Kunjungan mereka tentunya bukanlah sekedar kebetulan mampir saja. Mereka memang sudah punya niat dan sengaja me-refresh hubungan ke orang-orang yang mereka pandang perlu untuk dimintakan maaf pada kesempatan pertama di bulan syawal. Sah-sah saja jika ada anggota masyarakat yang ingin minta maaf apabila selama ini dalam kehidupan sehari-harinya merasa belum bisa sepenuhnya meneladani orang yang mereka pandang layak diteladani.

Para pejabat negara, baik tingkat nasional maupun regional, banyak diberitakan menggelar acara di bulan Syawal yang lebih dikenal sebagai sebagai Open House. Melaui Open House para pejabat tersebut membuka kesempatan kepada warganya (ada juga yang mengkhususkan warga kalangan tertentu, misalnya warga miskin) untuk meminta maaf pada kesempatan pertama di bulan Syawal di rumah pribadi atau dinasnya. Saya termasuk orang yang belum memiliki kemampuan memahami makna Open House seperti ini. Menurut pemahaman saya, apabila mau memaknai bulan Syawal adalah waktu yang tepat untuk bermaaf-maafan dan silaturahmi maka seharusnya para pejabatlah yang berkunjung dan meminta maaf ke rakyatnya. Permintaan maaf wajar saja disampaikan apabila selama menjabat jabatan yang diamanatkan kepadanya, pejabat tersebut merasa belum bisa sepenuhnya memenuhi janji-janjinya dan kewajibannya terhadap rakyatnya, termasuk belum bisa mengangkat kemiskinan warganya. Sedangkan konsep rakyat meminta maaf ke pejabat, sampai sekarang saya belum tahu apa yang harus dimintakan maaf apalagi bila pejabat tersebut tak pernah mau bersilaturahmi dan meminta maaf ke rakyatnya.

Bagaimanapun juga, semua pihak seharusnya mengakui bahwa pejabat negara adalah pemimpin masyarakat yang telah diseleksi oleh mayoritas rakyat baik secara pribadi ataupun melalui organisasi politik yang dipandang bisa mewakili aspirasinya. Pemimpin masyarakat dipercaya memiliki kemampuan lebih daripada para pimpinan perusahaan - yang notabene adalah bagian dari masyarakat. Pemilik perusahaan mungkin saja mensyaratkan para pimpinan perusahaannya memiliki kemampuan kepemimpinan (leadership) yang banyak diajarkan dan dibahas di berbagai macam artikel, buku, pelatihan, dsb. Namun pimpinan perusahaan tidak dipilih oleh karyawan, sehingga tidak ada keharusan untuk menjadi teladan karyawan. Justru sebaliknya, yang sering dijadikan karyawan teladan adalah karyawan non-pimpinan dengan ditandai pemasangan fotonya. Sedangkan pemimpin masyarakat, disamping dituntut memiliki kemampuan kepemimpinan yang lebih dari para pimpinan perusahaan di wilayahnya juga lebih dipercaya oleh mayoritas warganya memiliki kemudahan untuk dipahami dan diteladani. Salah satu cermin pengakuan terhadap pemimpin adalah meneladani sikap dan perilakunya. Jika benar demikian, maka setiap anggota masyarakat sudah seharusnya meneladani pemimpin masyarakat dimana ia berada. Sebaliknya, jika tidak ada warganya yang mau meneladaninya sama sekali maka pantas dipertanyakan pada kemana pendukungnya sewaktu pemilihan pemimpin masyarakat tersebut.

Kalaupun sampai akhir Syawal saya tidak juga mengadakan Open House bagi teman-teman, bukan berarti saya berpandangan pemimpin masyarakat nasional, regional, lokal atau para pejabat dibawahnya yang menggelar Open House tidak pantas diteladani. Hanya saja saya khawatir ada diantara teman-teman yang belum mampu saling memahami pro-kontra Open House yang memang lagi jadi topik hangat diberbagai media massa akhir-akhir ini. Ada kekhawatiran Open House yang diharapkan bisa sebagai sarana re-connect, malah terjadi disconnected gara-gara pro-kontra yang tak mau mengalah demi membela mati-matian opini-opini pribadi atau golongannya masing-masing. Masih banyak jalan lain untuk kembali berhubungan.

1 comment:

  1. muka mbah harto dan mbah marijan sama2 mirip semar

    ReplyDelete